Arsip | SYUBHAT SYUBHAT PELAKU BID’AH RSS feed for this section

Penggunaan mikrofon di masjid-masjid berarti bid’ah ?

2 Mei

Penggunaan mikrofon di masjid bukan bid’ah

Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat.

Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i.

Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.

Dari artikel ‘Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah — Muslim.Or.Id

Sudah tradisi . . .

2 Mei

Ini kan sudah jadi tradisi di tempat kami…

Perkataan seperti itu kadang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “ Kenapa kamu masih melakukan amalan yng tidak ada tuntunannya , mereka menjawab, “ Ini kan sudah jadi tradisi kami…”

Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.

Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan.  Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.

Dari artikel ‘Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah — Muslim.Or.Id

Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an berarti bid’ah ?

29 Apr

Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf  Al Qur’an tdk ada di jaman Nabi . berarti bid’ah ?

Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an , bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi .

Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/ diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya.

Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi.  Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca.

Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an .

(Abu Hudzaifah)

Mobil hp dan komputer berarti bid’ah

29 Apr

Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah . .

Masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau  memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.

Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.

Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.

Dari artikel ‘Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah — Muslim.Or.Id

Mengumpulkan Al Qur’an berarti Bid’ah ?

29 Apr

Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an

Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.

Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.

“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?

Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.

Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-

Dari artikel ‘Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah — Muslim.Or.Id

Membukukan hadits-hadits Nabi berarti bid’ah ?

29 Apr

Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal.

Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan . Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad),  ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.

Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut.

Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.

Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Dari artikel ‘Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah — Muslim.Or.Id

Membukukan hadits berarti bid’ah

29 Apr
Membukukan hadis bukan bidah , begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al- Qur’an.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut . sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits- hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang .
Semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua , karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yangselalu tidak bertanggung jawab.

Masalah khilafiyah katanya . .

29 Apr

Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”.

Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

http://muslim.or.id/manhaj/tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html#

Kembali kepada niatnya . .

29 Apr

Ada sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan .
“ Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”

Perlu diketahui syarat diterimanya amal ada dua yaitu :

1- Niatnya harus ikhlas
2- Harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah :

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

Ibadah kok di larang . . .

29 Apr

Baca Al Qur’an kok dilarang ? !

Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”

Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.

Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)

Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.

Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)

Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.

Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.

Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.

Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?

Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.

***

Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id