Apa yang dipandang kaum muslimin kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan

2 Mei

Diantara dalil yang digunakan oleh para pendukung bid’ah hasanah adalah sebuah atsar yang diakui sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan” (HR Ahmad)

Karenanya jika kaum muslimin memandang suatu bid’ah baik maka ia juga baik di sisi Allah.

Sanggahan :

Bantahan terhadap syubhat ini bisa ditinjau dari beberapa sisi :

PERTAMA : Nukilan ini bukanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi merupakan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

Ibnu Hazm rahimahullah (wafat 456 H) berkata :

“Mereka berdalil untuk (pembenaran) istihsaan dengan perkataan yang mengalir di lisan-lisan mereka , yaitu : Apa yang dipandang kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik”. Perkataan ini sama sekali kami tidak mengetahuinya bersanad sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang tidak diragukan lagi bahwasanya perkataan ini tidak terdapat sama sekali di dalam hadits musnad yang shahih, yang kami ketahui perkataan ini adalah dari Ibnu Mas’uud” (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Muhammad Syaakir, : 6/18)

Az-Zaila’i Al-Hanafi rahimahullah (wafat 762 H), berkata

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Apa yang dipandang kaum muslimin baik maka ia di sisi Allah juga baik)), aku berkata : Aneh diriwayatkan secara marfu’, dan aku tidak mendapatkan atsar ini kecuali mauquf dari Ibnu Mas’ud” (Nashbur Rooyah, Az-Zaila’i, Muassasah Ar-Royyaan, cetakan pertama, 4/133)

Al-Haafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Hadits ((Apa yang dipandang kaum muslimin baik maka ia di sisi Allah juga baik)), aku tidak menemukannya diriwayatkan secara marfu’ (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad secara mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud dengan sanad yang hasan. Demikian pula dikeluarkan oleh Al-Bazzaar, At-Thoyaalisi, At-Thobrooni, dan Abu Nu’aim pada biografi Ibnu Mas’ud, serta Al-Baihaqi dalam kitab al-I’tiqood. Ia juga telah mengeluarkan atsar ini dari jalan yang lain dari Ibnu Mas’ud” (Ad-Dirooyah fi takhriij Ahaadiits Al-Hidaayah, Ibnu Hajar al-Asqolaaniy, tahqiq : Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamaani, Daarul Ma’rifah, 2/187)

KEDUA : Kalaupun atsar ini shahih akan tetapi sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Semua bid’ah sesat” ditinjau dari beberapa sisi :

Pertama : Yang dimaksud dengan “pandangan/kesepakatan kaum muslimin” dalam atsar Ibnu Mas’ud ini adalah pandangan/ijmak/kesepakatan para sahabat, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh konteks atsar tersebut. Marilah kita perhatikan konteks atsar ini secara lengkap. Ibnu Mas’ud berkata

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah melihat kepada hati-hati para hamba maka Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang terbaik, maka Allahpun memilih beliau untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Lalu Allah melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad maka Allah mendapati hati-hati para sahabatnya adalah hati-hati para hamba yang terbaik, maka Allah menjadikan mereka sebagai para penolong nabiNya, mereka berperang di atas agamaNya. Maka apa yang dipandang kaum muslimin baik maka ia juga baik di sisi Allah, dan apa yang mereka lihat sebagai keburukan maka ia di sisi Allah juga buruk” (Atsar Riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya 3600)

Kedua : Dalam riwayat Al-Hakim di Al-Mustadrok terdapat tambahan pada akhirnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik maka ia di sisi Allah juga baik, dan apa yang dipandang kaum muslimin buruk maka ia di sisi Allah juga buruk. Dan para sahabat seluruhnya telah memandang untuk mengangkat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah”

Lalu Imam Al-Haakim berkata, هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاه”Ini adalah hadits yang sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim” (Al-Mustadrok ‘ala as-Shahihain, no 4465, dan penshahihan Al-Haakim disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Sangatlah jelas bahwasanya Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berdalil dengan atsar ini untuk menyatakan bahwa ijmak para sahabat adalah benar di sisi Allah. Dan Ibnu Mas’ud lebih paham dengan apa yang beliau ucapkan/riwayatkan.

Karenanya ال (alif laam) yang terdapat dalam lafal الْمُسْلِمُوْنَ bukanlah alif lam untuk istighrooq (yang memberikan faedah keumuman, sehingga mencakup seluruh kaum mulsimin), akan tetapi di sini adalah ال untuk al-’ahd, yaitu yang dimaksud dengan kaum muslimin di sini adalah para sahabat secara khusus, sebagaimana yang ditunjukkan oleh konteks lengkap atsar tersebut dan sebagaimana yang dipahami oleh Ibnu Mas’ud sendiri

KETIGA : Sebagian orang menganggap ال (alif laam) yang terdapat dalam lafal الْمُسْلِمُوْنَ adalah untuk istighrooq sehingga mencakup seluruh kaum muslimin, jadi bukan hanya khusus untuk para sahabat. Sehingga dengan demikian jika kaum muslimin memandang suatu bid’ah itu baik/hasanah maka bid’ah tersebut di sisi Allah juga baik.

Sanggahan

Kalaupun kita menerima bahwasanya ال (alif laam) yang terdapat dalam lafal الْمُسْلِمُوْنَ adalah untuk istighrooq, maka tentu sudah jelas bahwasanya bukan sekumpulan kaum muslimin secara sembarangan, menimbang dua perkara berikut :

Pertama : Kalau seandainya ada sekelompok orang jahil dalam agama (misalnya mereka berjumlah 100 orang) lalu memandang sesuatu perkara ibadah baru sebagai kebaikan, tentunya tidak akan diterima pandangan mereka. Sebagai contoh sekelompok sekte di tanah air kita yang memandang bahwasanya menentukan 1 Ramadhan atau 1 Syawwal dengan melihat pasang surut air laut. Tentunya meskipun mereka memandang itu yang terbaik, akan tetapi pandangan mereka tidak akan diterima

Kedua : Jadi kaum muslimin yang dimaksud dalam atsar tersebut haruslah dari kalangan para ahli ilmu. Lantas kita bertanya lagi, jika ada sekelompok ulama yang memandang baik suatu perkara bid’ah, akan tetapi sekelompok ulama yang lain memandang perkara bid’ah tersebut merupakan perkara yang buruk, maka pandangan kelompok manakah yang menjadi patokan dari kedua kelompok ulama tersebut?.

Ibnu Hazm Al-Andalusi Adz-Dzohiri (wafat 456 H), berkata :

“Kalaupun ini adalah hadits yang shahih maka ini pun bukan dalil bagi mereka, karena hanya bisa menjadi dalil untuk ijmak kaum muslimin saja. Karena ia tidak berkata “Apa yang dilihat oleh sebagian kaum muslimin baik maka ia juga baik di sisi Allah”, akan tetapi ia berkata, “Apa yang dipandang kaum muslimin”. Inilah ijmak yang tidak boleh diselisihi jika memang pasti. Dan bukanlah apa yang dipandang oleh sebagian kaum muslimin lebih utama untuk diikuti dari apa yang dipandang oleh sebagian kaum muslimin lainnya. Kalau seandainya demikian, maka berarti kita telah diperintahkan untuk melakukan sesuatu dan melakukan lawan sesuatu tersebut, diperintahkan mengerjakan sesuatu dan sekalian meninggalkannya bersamaan. Ini merupakan berkara yang mustahil yang tidak mungkin dilakukan” (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 6/19)

Karenanya mau tidak mau, makna dari “kaum muslimin” dalam atsar tersebut harus dibawakan kepada makna ijmak para ulama, sebagaimana yang telah terjadi di zaman para sahabat, tatkala para sahabat berijmak dan bersepakat untuk mengangkat Abu Bakr radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pemahaman inilah yang telah dipahami oleh banyak ulama, bisa dilihat pada poin-poin berikut:

Pertama : Sebagian ahli hadits membawakan atsar ini dalam bab yang diberi judul bab “Ijmak”. Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Haafizh Al-Haitsami (wafat : 807 H) dalam kitabnya Majma’ Az-Zawaaid (1/427), beliau membawakan atsar ini dalam bab : بَابٌ فِي الْإِجْمَاعِ (bab tentang ijmak). Demikian juga dalam kitabnya Kasyful Astaar ‘An Zawaaid Al-Bazzar (1/81).
Kedua : Banyak ulama yang berdalil dengan atsar ini untuk menyatakan hujjahnya ijmak. Diantara para ulama tersebut adalah;

1. Ibnu Hazm Al-Andalusi Adz-Dzohiri (wafat 456 H), sebagaimana telah lalu perkataan beliau bahwasanya yang dimaksud dengan “kaum muslimin” adalah ijmak kaum muslimin.

2. Abu Bakar As-Sarokhsi Al-Hanafi (wafat 490 H), ia berkata

وفي قوله ما رآه المسلم حسنا بيان أن إجماع أهل كل عصر حجة

“Dan pada perkataannya “Apa yang dipandang kaum muslimin baik…” penjelasan bahwa ijmak kaum muslimin pada setiap masa adalah hujjah” (Ushul As-Sarokhsiy, tahqiq : Abu al-Wafaa Al-Afghooniy, Lajnah Ihyaa al-Ma’aarif An-Nu’maaniyah 1/319)

3. Al-’Izz bin Abdis Salaam As-Syafi’i (wafat 660 H), ia pernah ditanya :

“Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Apa yang dipandang kaum muslimin baik maka baik pula di sisi Allah’?

Jawaban : Jika hadits tersebut shahih maka yang dimaksud dengan kaum muslimin adalah Ahlul Ijmak, Wallahu A’lam” (Al-Fatawaa li Al-Imaam al-’Izz bin Abdis Salaam, tahqiq : Abdurrahman bin Abdil Fattaah, Daarul Ma’rifah, cetakan pertama, hal 42)

4. Al-Haafiz Ibnu Katsiir As-Syaaf’i (wafat 774 H)

“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata “Apa yang dilihat oleh kaum mulsimin baik maka di sisi Allah juga baik, dan apa yang dilihat kaum muslimin buruk maka ia juga buruk di sisi Allah. Dan para sahabat seluruhnya telah memandang untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah” Isnadnya Shahih. Aku (Ibnu Katsiir-pen) berkata : Pada atsar ini ada hikayat Ijmak dari para sahabat dalam mendahulukan Abu Bakr sebagai khalifah” (yaitu atsar Ibnu Mas’ud-pen) (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah, tahqiq : Abdullah At-Turki, Daar Hajr, 14/386

5. Al-Mardaawi al-Hanbali (wafat 885 H), silahkan lihat perkataannya di kitabnya At-Tahbiir Syarh At-Tahriir fi ushuul a-Fiqh, (tahqiq : Abdurrahman al-Jibrin, Maktabat Ar-Rusyd, 8/3823)

Jika perkaranya demikian maka apakah ada bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum muslimin, disepakati oleh para ulama?, tidak ada seorangpun yang menyelisihi??. Jawabannya tentunya tidak ada !!!

Akan tetapi berbeda jika yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah bid’ah secara bahasa yang mencakup al-maslahah al-mursalah sebagaimana yang dipahami dari perkataan Imam As-Syafii –sebagaimana telah lalu-, beliau berkata (sebagaimana dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa’ wa Al-Lughoot 3/23) :

“Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”(lihat juga manaqib As-Syafi’i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi’i menyebutkan bahwa bid’ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah, yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

KEEMPAT : Pendalilan dengan atsar Ibnu Mas’ud ini untuk melegalisasi bid’ah karena penilaian baik sebagian orang ternyata bertentangan dengan perkataan yang masyhuur dari al-Imam As-Syafi’i rahimahullah :

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at”

(Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)

Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari’at yang baru.

KELIMA : Jika telah jelas bahwasanya atsar ini bukanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi merupakan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, maka bagaimana mungkin dibawakan maknanya kepada bid’ah hasanah?? Sementara Ibnu Mas’ud dikenal sangat menentang bid’ah. Sebagaimana telah lalu dimana beliau mengingkari orang-orang yang berhalaqoh untuk berdzikir secara berjama’ah !!!

Dan beliaulah radhiallahu ‘anhu yang telah berkata :

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ سَتُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مُحْدَثَةً؛ فَعَلَيْكُمْ بِالْأَمْرِ الْأَوَّلِ (وفي رواية : بِالْهَدْيِ الْأَوَّلِ)

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan berbuat perkara-perkara baru, dan akan diadakan perkara-perkara baru bagi kalian. Jika kalian melihat perkara muhdats/baru (bid’ah) maka berpegang teguhlah kepada perkara yang pertama (dalam riwayat yang lain : petunjuk yang pertama)” (Atsar riwayat Ad-Darimi dalam Sunnahnya no 174, Al-Laaikai dalam Syarh Ushul I’tiqood Ahlis Sunnah no 85, Ibnu Battoh dalam Al-Ibaanah al-Kubro no 181, Al-Marwazi dalam As-Sunnah no 80, dan dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/253 sebagai atsar yang valid dari Ibnu Mas’ud)

Beliau juga yang telah berkata :

اِتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا؛ فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Beriittiba’lah dan janganlah kalian berbuat bid’ah karena sungguh kalian telah dicukupkan, dan seluruh bid’ah adalah sesat” (Atsar diriwayatkan oleh Al-Laalikaai dalam Syarh Usuul I’tiqood Ahlis Sunnah 1/22, Al-Marwazi dalam As-Sunnah hal 92 no 79, Ibnu Waddooh Al-Qurthubi dalam Al-Bida’ wa An-Nahyu ‘an Haa, hal 17, dan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid no 853 berkata : “Diriwayatkan oleh At-Thobroni di al-Mu’jam al-Kabiir, dan para perawinya adalah perawi as-shahih)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 15-11-1433 H / 01 Oktober 2012 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

http://www.firanda.com

Tinggalkan komentar